Ahmad Hafisz Tohir : Hentikan Impor Aluminium

1224

Fraksipan.com – Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir meminta pemerintah menyetop impor alumunium. Hal itu dikarenakan produksi aluminium domestik mencapai 40 persen sudah menguasai Indonesia.

Anggota DPR dari PAN ini mengungkapkan, sejak era Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, pihaknya terus menggelontorkan dana, yakni penyertaan modal negara (PMN) demi membesarkan perusahaan pelat merah tersebut.

“Inalum sudah disupport habis Komisi VI sejak pemerintahan SBY sampai Jokowi dengan menggelontorkan PMN sebesar Rp6,7 Triliun, dan sudah terlihat hasilnya, yaitu produksi alumunium sudah 40 persen kuasai pasar Indonesia, dan saham Inalum sudah dikuasai mayoritas oleh Indonesia,” ujar Hafisz, Jakarta, Selasa (4/8/2015).

Dijelaskan Hafis, kebutuhan terhadap alumunium di negeri ini masih sangat tinggi, terlebih ketika melihat pasar di Indonesia. Untuk mengatasi persoalan tersebut, jelas dia, peran pemerintah dan Inalum sendiri sangat diperlukan.

“Jadi kebutuhan kita terhadap alumunium masih banyak. Ada pasar sekitar 60% lagi yang akan diperebutkan oleh pemain lokal dan internasional. Nah di sini peran Inalum sangat ditunggu. Maka itu pemerintah harus menyetop import aluminium jadi. Serahkan saja kepada produsen dalam negeri supaya PT Inalum terus kuat,” terang Dia.

Sementara, lanjut Hafizs, keharusan impor itu dikarenakan masih ada 60 persen lagi kebutuhan domestik yang belum terpenuhi oleh Inalum. Maka, menurutnya, bisa diatasi dengan penambahan modal Inalum.

“Modal Inalum perlu tambah, atau cari pinjaman komersial. Terus bahan baku perlu diperluas lagi sumbernya,” paparnya.

Lebih lanjut Dia menerangkan, bahwa modal yang dimaksud adalah guna melengkapi fasilitas-fasilitas untuk pengelolaan alumunium, termasuk yang paling utama adalah pabrik alumunium yang mencapai hingga triliunan rupiah. Kebutuhan dana besar tersebut bisa melalui cara agar negara memberikan PMN. Namun, hal itu juga bisa dengan cara meminjam ke bank dengan bunga komersial.

“Jadi melihat besarnya kebutuhan itu, satu pabrik bisa mencapai Rp10 triliun,” jelasnya. Dia berharap, hal ini penting menjadi perhatian pemerintah, agar dapat mengeluarkan kebijakan tersebut. (ed)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here