Fraksipan.com – Anggota Komisi X DPR RI, Anang Hermansyah mengatakan sistem pendidikan Indonesia jangan menjadi momok bagi peserta didik. Ujian Nasional (UN) yang dijadikan sebagai standar kelulusan menurut Anang menjadi salah satu biang keladinya.
”Menjadikan UN sebagai standar kelulusan adalah satu kekeliruan. Menurut saya kebijakan tersebut harus dievaluasi kembali,” ujar Anang Hermansyah melalui siaran persnya, Senin (16/11).
Terkait hal itu, Anang lantas menyitir Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam peraturan tersebut tertuang jelas bahwa untuk menjamin dan mengendalikan mutu pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan dengan dilakukan evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. Evaluasi lantas diterjemahkan pemerintah dengan menyelenggarakan UN.
UN merupakan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah yang juga harus memenuhi standar penilaian pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik sesuai dengan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
“Pemerintah saat ini sedang mencari rumusan bagaimana penyelenggaraan pendidikan yang menarik dan menyenangkan bagi peserta didik,” ujarnya.
Politisi PAN dan juga artis senior tersebut menambahkan, saat dirinya melakukan kegiatan penyerapan aspirasi atau reses di daerah pemilihannya Jember dan Lumajang, banyak siswa yang tidak menginginkan UN ditentukan oleh negara tetapi harus dari setiap sekolah masing-masing.
Dengan begitu sistem pendidikan harus dibangun hal yang menyenangkan mulai dari gurunya, cara mengajar dan pelajaran yang disampaikan harus menyenangkan dan menarik.
“Makanya kemudian dari sekian sekolah yang saya datangi, mungkin juga sekolah di kabupaten lain, jawabannya sama ketika siswa ditanya soal unas. Pelaksanaan UN itu masih menjadi horor yang menakutkan,” katanya.
Dalam penilaian Anang, UN yang saat ini dijadikan sebagai standar kelulusan memiliki banyak kelemahan. “Standar nilai UN sama di seluruh Indonesia. Padahal kondisi sarana prasarananya di setiap daerah berbeda-berbeda. Jadi sangat tidak adil jika standarnya disamaratakan,” imbuh Anang.
Anang juga menambahkan, dengan dilaksanakannya UN sebagai syarat kelulusan maka akan menimbulkan kompetisi yang tidak sehat.
Pemanfaatan anggaran dana yang begitu besar saya pikir agak mubadzir. Ini karena pelaksanaan UN menghabiskan dana yang tidak sedikit, mulai dari perencanaan, hingga pelaksanaan UN,” ungkap Anang.
Terakhir yang menjadi sorotannya atas kelemahan UN adalah penilaian yang sifatnya temporal (sesaat) dan hanya menilai satu aspek saja, namun menentukan kelulusan. Sehingga ia kembali menegaskan bahwa tidak selayaknya UN dijadikan sebagai standar kelulusan siswa. (ed)