Fraksipan.com – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Saleh Daulay, meyakini banyak keturunan warga negara Indonesia (WNI) yang ada di Malaysia bisa kehilangan kewarganegaraannya (stateless), lantaran tidak mengantongi izin resmi untuk bekerja di negeri jiran.
Tenaga kerja Indonesia di Malaysia kalau nggak berdokumen, lalu berani menikah dan enggak punya surat nikah, nanti kalau anaknya lahir menjadi stateless. Masak kita biarkan? Ini nggak boleh,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/7/2017).
Anggota DPR RI Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan, persoalan-persoalan yang melilit Pekerja Asing Tanpa Izin (PATI) asal Indonesia di Malaysia tak ubahnya dengan berbagai permasalahan yang ada di tanah air.
Permalasahan apa kita ketemu di sini, ketemu juga di sana. WNI di sana juga tidak punya akses pendidikan, anggap saja karena dokumen tidak jelas,” papar Daulay.
Pada kesempatan sama, Anggota Komisi IX DPR RI, Hang Ali Saputra Syah Pahan, menambahkan persoalan kependudukan tersebut bukanlah masalah anyar. Berdasarkan catatannya, ada 40 ribu anak TKI tanpa dokumen tidak bisa bersekolah.
“Sepertinya, masyarakat kurang mendapatkan perlindungan dari negara,” sesalnya
Karenanya, Komisi IX DPR RI pada jumpa pers di Senayan, mendesak pemerintah segera mengentaskan krisis PATI asal Indonesia di Malaysia, menyusul kian intensifnya razia atau opnyah beberapa pekan terakhir.
Malaysia meningkatkan frekuensi razia terhadap pekerja imigran tanpa dokumen, menyusul berakhirnya Enforcement Card (E-card) atau E-kad yang diadakan Jabatan Imigresen Malaysia (JIM), 30 Juni 2017.
Menurut catatan Migrant Care, jumlah TKI tanpa dokumen yang berpartisipasi pada E-kad cuma sekira 22 ribu orang (22 persen) dari total 155 ribuan PATI yang mendaftar. Adapun jumlah pekerja migran tidak berizin di Malaysia menembus 600 ribu jiwa.
Tak banyak pula TKI yang mengikuti Program Penghantaran Pulang PATI Secara Sukarela yang dilakukan International Marketing and Net (Iman) Resources.
Sebab, tarifnya kini membengkak menjadi RM800 (setara Rp2,48 juta). Ini belum termasuk Goods and Service Tax (GST) enam persen dan ongkos transportasi ke negara asal. Padahal, sebelumnya cuma RM400. Kursnya, RM1 senilai Rp3.100.
Apalagi, acapkali biaya yang harus dikeluarkan PATI saat mendaftar program tersebut angkanya bisa menembus RM1.300-RM1.500.
Akhirnya, banyak PATI yang memilih mengungsi ke tengah hutan dengan alas dan atap sebagainya guna menghindari razia, yang berdasarkan temuan Migrant Care, cenderung represif dan koersif serta didasarkan pada tendensi rasisme, xenophobia, diskriminatif, dan kerap merampas kebebasan individu. (ed)