Hafidz Tohir: Trend Melemahnya Rupiah Harus diwaspadai

444

Fraksipan.com – Bank Indonesia (BI) diimbau agar berhati-hati melakukan intervensi terhadap pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN). Tren lemahnya rupiah harus diwaspadai, baik yang dipicu gejolak global maupun kenaikan harga minyak dunia.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir menyampaikan hal ini dalam rilisnya yang diterima Parlementaria, Rabu (25/4/2018). Kini, nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp13.843 hingga Rp13.908 per dolar AS. Sebelumnya, rupiah sudah menembus Rp14 ribu lebih per dolar AS. Ini menjadi warning bagi pemerintah dan otoritas perekonomian Indonesia.

“Bank Indonesia harus ekstra hati-hati dalam melakukan intervensi terhadap pasar valas maupun pasar SBN dengan terus mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu gejolak global maupun akibat kenaikan harga minyak dunia terhadap kemungkinan arus keluar pasar SBN dan saham Indonesia yang berasal dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik,” ucap Anggota Dewan F-PAN ini.

Gejolak global yang dimaksud, lanjut Hafisz, adalah dampak kenaikan suku bunga AS dan perang dagang AS-China. Dan penguatan dolar AS beberapa hari terakhir lebih banyak dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills yang hampir 3,0 persen. Selain itu, adanya kemungkinan naiknya kembali suku bunga Fed Fund Rate (FFR) lebih dari 3 kali sepanjang 2018 ini. Hafisz dalam rilisnya merinci dampak melemahnya rupiah ini pada berbagai sektor.

Sektor pertama yang terdampak adalah aliran modal asing yang keluar bisa semakin tinggi. Saat ini saja, sudah lebih dari Rp8,6 triliun (year to date/ytd) sejak awal 2018. Ini merupakan akibat langsung yield treasury atau surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun yang meningkat ke 2,9 persen. Itu tertinggi dalam empat tahun terakhir. Otomatis yield spread dari SBN Indonesia akan semakin sempit. Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dengan memburu surat utang AS.

Daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor melemah, karena beberapa sektor industri nasional bergantung pada impor bahan baku dan barang modal. “Apabila dolarnya kuat, maka biaya produksi pasti naik sehingga mengakibatkan harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestik masih stagnan, maka pengaruh terhadap pada profit pengusaha akan semakin rendah,” jelas Hafisz.

Dampak lainnya adalah beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah dan korporasi akan semakin besar. Risiko gagal bayar akan naik, apalagi jika ada utang swasta yang belum dilindung nilai (hedging). Terakhir, Indonesia sebagai net importir minyak mentah juga sangat sensitif terhadap pergerakan dolar mengingat impor minyak nasional cukup besar. Tercatat impor minyak Indonesia 500 ribu barel/hari.

“Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan, baik yang subsidi maupun non-subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jenis diprediksi akan terus berjalan. Indonesian Crude Price 48 dolar AS/barel. Sementara saat ini brent sudah dijual 71 dolar AS,” ungkap Hafisz.

Nilai tukar rupiah saling terkait dengan indikator makro lainnya, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), harga minyak mentah dunia, investasi, serta inflasi. Menurutnya, ini penting diketahui karena menyangkut prasyarat dasar untuk meningkatkan daya saing ekonomi suatu negara. (ed)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here