Fraksipan.com – Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafisz Tohir menilai, hengkangnya Ford dari Indonesia lebih dikarenakan iklim investasi dan perekonomian Indonesia yang mulai mengkhawatirkan. Lebih kepada outlook ekonomi Indonesia yang buruk.
Ini pertanda tidak baik bagi investasi di Indonesia dan mencerminkan keadaan ekonomi yang suram ke depan jika tidak segera diatasi.
“Menyikapi kondisi ini, pemerintah harus banyak mendengar dan merumuskan kebijakan yang strategis disaat kondisi sulit seperti ini, bukannya malah mengabaikan masukan parlemen atau DPR. Selama ini rekomendasi komisi-komisi di DPR rata-rata tidak dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah. Padahal dalam skala bernegara pemerintah dan DPR sama-sama punya tanggung jawab membela negara, terkait kondisi ekonomi yang melemah,” ujarnya, di Senayan, Kamis 28 Januari 2016.
Menurut Hafisz, hengkangnya Ford dari Indonesia merupakan sinyal semakin memburuknya kondisi perekonomian Indonesia saat ini dan tanda-tanda krisis ekonomi akan menghampiri Indonesia.
“Termasuk global effect juga menekan kita. Banyak negara tujuan export Indonesia mengurangi belanja, sementara arus export barang tidak kunjung menguat. Krisis ini bisa dihalau jika apa yang saya sampaikan diatas tadi bisa dilakukan pemerintah, dengan mitra kerja di DPR. Indikasi melemahnya perekonomian nasional terlihat saat banyaknya perusahaan-perusahan dan industri yang tutup di tahun 2015 di tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK,” ucapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, beberapa indikasinya bisa dilihat antara lain turunnya daya beli masyarakat, merosotnya nilai tukar Rupiah atas Dollar, biaya operasional perusahaan bengkak karena kenaikan bahan baku dan menurunnya permintaan sumber daya alam seperti batu bara karena perlambatan ekonomi global termasuk Cina.
“Berikutnya adalah eksodus perusahaan besar di Indonesia yang ditutup atau dipindah ke luar negeri di tahun 2015 antara lain: 27 perusahaan tekstil & produk tekstil, 125 perusahaan pertambangan batubara di Kalimatan Timur, 11 perusahan di Batam di bidang galangan kapal, elektronik, garmen. Belum lagi Chevron Indonesia sedang mempertimbangkan PHK 1700 an orang, Commonwealth confirm layoff 30-35 persen karyawan, ANZ Bank, Citibank Indonesia juga bakal layoff, bahkan United Tractors (Grup Astra) sudah menawarkan karyawannya untuk resign dengan pesangon,” jelas Hafisz.
Di samping itu, sambung politisi PAN ini, banyak perusahaan kecil, menengah yang tutup tanpa melapor ke Disnakertrans atau instansi terkait sehingga tidak tercatat.
Dengan berlakunya pasar bebas ASEAN (MEA) ini tentu industri dari negara tetangga termasuk tenaga akan membanjiri Indonesia dan akan mempersulit kembali tenaga kerja Indonesia karena tenaga kerja tetangga yang masuk rata rata tenaga terampil.
Ini tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah. Sumber daya manusia kita harus benar- benar di siapkan untuk menghadapi pasar bebas ini termasuk infrastruktur dan suprastruktur perekonomian nasional.
“Jangan sampai kita menjadi budak di negeri sendiri ditengah serbuan global. Jika pemerintah tidak hati hati dan selalu menganggap remeh persoalan dengan mengabaikan peraturan dan perundang-undangan seperti dalam mega proyek kereta api cepat Jakarta Bandung dimana kementerian teknis terkait seperti Kemenhub sama sekali tidak dilibatkan dalam proses proyeknya. Tiba-tiba keluar peraturan presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015,” ujarnya.
Menurut Hafisz, hal ini jelas melewati prosedur pembuatan pembuatan UU setingkat Perpres karena tidak melibatkan kementerian teknis terkait. Bahaya jika ada kelompok masyarakat yang menggugat prosedur tersebut dan di kabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara. Ke depan tata administrasi negara harus prudent agar tidak menimbulkan persoalan baru. Maka wajar saja jika Menhub Ignatius Johan tidak hadir saat ground breaking oleh Presiden Jokowi, ujarnya.
“Karena proyek kereta api cepat ini adalah konsorsium BUMN Indonesia dan BUMN China maka tentu komisi VI berkepentingan untuk menjaga agar BUMN yang terlibat dalam proyek ini clear and clean. Jangan sampai mengganggu neraca keuangan dan modal perusahaan yang ujungnya kembali minta peyertaan modal negara (PMN),”ujarnya.
Menurut Hafisz, dalam waktu dekat ini, Komisi VI DPR RI akan memanggil Menteri BUMN yang bertanggung jawab atas proyek kereta api cepat ini untuk mengklarifikasi serta mengetahui kajian ekonomi serta bisnis plan apakah layak atau tidak. Dirinya juga ingin melihat dari sisi prosedural serta aspek legal formal yang menjadi landasannya.
“Proyek ini meski tidak menggunakan APBN tapi karena ada BUMN kita yang terlibat maka harus dipantau betul pelaksanaannya nanti,” katanya.
(Sumber: viva.co.id)