Sistem Ketatanegaraan Indonesia Perlu Dirumuskan Kembali

839

Fraksipan.com – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Zulkifli Hasan menyarankan agar para guru besar ahli hukum tata negara dan administrasi negara bisa merumuskan kembali hukum ketatanegaraan di Indonesia.

“Bukannya sistem ketatanegaraannya tidak tepat, tapi perlu dikaji dan dirumuskan kembali agar tidak tumpang tindih,” ujarnya ketika ditemui usai membuka Musyawarah Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia yang juga dihadiri Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Surabaya, Jumat (6/11) malam.

Pada Munas kali ini, Zulkifli yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut berharap para pakar hukum tata negara dan administrasi negara bisa merumuskannya, kemudian dibuat simposium khusus.

Menurut dia, ada beberapa contoh yang harus dipikirkan kembali dengan berbagai rumusan, seperti soal otonomi daerah yang cukup luas dan menjadikan banyak bupati/wali kota kadang tak bersedia hadir ketika diundang gubernur.

“Bahkan ada beberapa kepala daerah yang tak hadir ketika presiden berada di daerahnya,” ucapnya.

Selain itu, kata dia, saat ini banyak gubernur dan kepala daerah takut untuk bertindak karena kurang mengerti mana yang terkait administrasi dan pidana.

“Pakar-pakarnya ini penting sekali untuk merumuskan sesuatu agar jangan sampai lambat kepala daerah bertindak mengambil keputusan, semisal penggunaan anggaran hanya terserap 30-50 persen maka tentu merugikan rakyat,” katanya.

Kemudian, posisi DPR, DPD dan MPR juga dinilai saling tumpang tindih, antara lain ketika pidato kenegaraan disampaikan oleh Presiden hingga harus dilakukan di tiga lembaga tersebut.

Tidak itu saja, lanjut dia, sistem pilkada yang dianut menjadikan demokrasi sangat mahal, padahal Pancasila khususnya sila ke empat menjelaskan tentang musyawarah untuk mufakat.

“Kebetulan berada di tengah-tengah pakar-pakar tata negara maka saya ingin sampaikan hal-hal semacam ini. Kami ini perwakilan, tapi malah sedikit-sedikit suara terbanyak, kemudian menang-menangan dan gaduh,” katanya.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Zulkifli Hasan menyarankan agar para guru besar ahli hukum tata negara dan administrasi negara bisa merumuskan kembali hukum ketatanegaraan di Indonesia.

“Bukannya sistem ketatanegaraannya tidak tepat, tapi perlu dikaji dan dirumuskan kembali agar tidak tumpang tindih,” ujarnya ketika ditemui usai membuka Musyawarah Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia di Surabaya, Jumat (6/11) malam.

Pada Munas kali ini, Zulkifli yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut berharap para pakar hukum tata negara dan administrasi negara bisa merumuskannya, kemudian dibuat simposium khusus.

Menurut dia, ada beberapa contoh yang harus dipikirkan kembali dengan berbagai rumusan, seperti soal otonomi daerah yang cukup luas dan menjadikan banyak bupati/wali kota kadang tak bersedia hadir ketika diundang gubernur.

“Bahkan ada beberapa kepala daerah yang tak hadir ketika Presiden berada di daerahnya,” ucapnya.

Selain itu, kata dia, saat ini banyak gubernur dan kepala daerah takut untuk bertindak karena kurang mengerti mana yang terkait adminitrasi dan pidana.

“Pakar-pakarnya ini penting sekali untuk merumuskan sesuatu agar jangan sampai lambat kepala daerah bertindak mengambil keputusan, semisal penggunaan anggaran hanya terserap 30-50 persen maka tentu merugikan rakyat,” katanya.

Kemudian, posisi DPR, DPD dan MPR juga dinilai saling tumpang tindih, antara lain ketika pidato kenegaraan disampaikan oleh Presiden hingga harus dilakukan di tiga lembaga tersebut.

Tidak itu saja, lanjut dia, sistem pilkada yang dianut menjadikan demokrasi sangat mahal, padahal Pancasila khususnya sila ke empat menjelaskan tentang musyawarah untuk mufakat.

“Kebetulan berada di tengah-tengah pakar-pakar tata negara maka saya ingin sampaikan hal-hal semacam ini. Kami ini perwakilan, tapi malah sedikit-sedikit suara terbanyak, kemudian menang-menangan dan gaduh,” pungkasnya. (ed)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here